Welcome....!!!

Selalu ada kemudahan dibalik suatu kesulitan...Maka jangan berhenti berjuang untuk masa depan Anda...!!

Kamis, 17 November 2011

Referat Anak Leukemia


LEUKEMIA

I.       Pendahuluan

Leukemia (dalam bahasa Yunani leukos λευκός, "putih"; aima αίμα, "darah"), atau lebih dikenal sebagai kanker darah merupakan penyakit dalam klasifikasi kanker (istilah medis: neoplasma) pada darah atau sumsum tulang yang ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid, umumnya terjadi pada leukosit (sel darah putih). Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita [1].
Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel lainnya [1].
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan gejala klinis. Keganasan hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik  sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik [2]. 



II. Etiologi
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
·         Radiasi. Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan mengenai hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang mendukung bahwa  para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia, penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia. Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang(1) .
·         Faktor leukemogenik. Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi leukemia yaitu Racun lingkungan seperti benzena, Bahan kimia industri seperti insektisida, serta obat untuk kemoterapi(1).
·         Herediter. Penderita sindrom Down memiliki insidens leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal(1). Pada sebagian penderita dengan leukemia, insiden leukemia meningkat dalam keluarga. Kemungkinan untuk mendapat leukemia pada saudara kandung penderita naik 2-4 kali. Selain itu, leukemia juga dapat terjadi pada kembar identik.  Berdasarkan penelitian Hadi, et al (2008) di Iran dengan desain  case control  menunjukkan bahwa orang yang memiliki riwayat keluarga positif  leukemia berisiko untuk menderita LLA (OR=3,75 ; CI=1,32-10,99) artinya orang yang menderita leukemia kemungkinan 3,75 kali memiliki riwayat keluarga positif leukemia dibandingkan dengan orang yang tidak menderita leukemia(2).
·         Virus. Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa. 


III.       Prevalensi
·      Leukemia limfositik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau lebih
·      Leukemia mielositik akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-anak.Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.
·      Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak
·      Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit
Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, sedangkan LLA sering terjadi pada anak-anak.

IV.   Morfologi dan Fungsi Normal Sel Darah Putih
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh,  yaitu berfungsi melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah put ih berkisar dari 4.000 sampai 10.000/mm3. Berdasarkan jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah putih digolongkan menjadi 2 yaitu : granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan agranulosit (leukosit mononuklear)(2).
a.    Granulosit
Granulosit merupakan  leukosit yang memiliki granula sitoplasma. Berdasarkan warna granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis granulosit yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil(2).

-       Neutrofil .
Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh bakteri ,sangat fagositik dan sangat  aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi untuk menyerang dan menghancurkan bakteri, virus atau agen penyebab infeksi lainnya. Neutrofil mempunyai inti sel yang berangkai dan kadang-kadang seperti  terpisah- pisah, protoplasmanya banyak bintik-bintik halus (granula). Granula neutrofil mempunyai afinitas sedikit terhadap zat warna basa dan memberi warna biru atau merah muda pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna merah muda. Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling banyak, mencapai  60% dari jumlah sel darah putih. Neutrofil merupakan sel berumur pendek dengan waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari dalam jaringan ikat, setelah itu neutrofil mati(2).
-       Eosinofil.
Eosinofil merupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat saat terjadi alergi atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma yang kasar dan besar.  Sel granulanya berwarna merah sampai merah jingga. Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam sebelum bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa 8-12 hari dari jangka hidupnya. Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit dari neutrofil, hanya 2-4% dari jumlah sel darah putih(2).
-       Basofil. 
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang dari 1% dari jumlah sel darah put ih. Basofil memiliki sejumlah granula sitoplasma yang bentuknya tidak beraturan dan berwarna keunguan sampai hitam.Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu mencegah pembekuan darah intravaskular(2).
b.    Agranulosit
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplasma. Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit(2).
-    Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil, berkisar 20-35% dari sel darah put ih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas. Limfosit memiliki inti yang bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma yang sempit berwarna biru. Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T  bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar getah bening. Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang dengan semestinya, berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab atas respons kekebalan hormonal(2).
-   Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari sel darah putih, memiliki waktu paruh 12-100 jam di dalam darah.Intinya terlipat atau berlekuk dan terlihat berlobus, protoplasmanya melebar, warna biru keabuan yang mempunyai  bintik-bintik sedikit kemerahan. Monosit memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-sel cedera dan mati, fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme(2).






 







        Gambar 1. Sel darah putih(2)                              Gambar 2. Leukemia (2)


V. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang  lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan(2).
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliput i perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali), delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal(2).
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah put ih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak(2).

VI.       Klasifikasi
Berdasarkan morfologik sel terdapat 5 golongan besar leukemia, sesuai dengan 5 macam sistem hemopoetik dalam sumsum tulang yaitu(3) :
1.      Leukemia system eritropoetik : mielosis eritremika atau penyakit di Guglielmo
2.      Leukemia system granulopoetik : leukemia granulositik atau mielositik
3.      Leukemia system trombopoetik : leukemia megakarositik
4.      Leukemia system limfopoetik : leukemia limfositik
5.      Leukemia RES : retikuloendoteliosis atau retikulosis yang dapat berupa leukemia monositik, leukemia plasmositik (penyakit kahler), histiositosis, dan sebagainya
Di samping itu mungkin pula ditemukan proliferasi campuran dari 2 sistem hemopoetik seperti pada eritroleukemia yang merupakan leukemia system granulopoetik dan eritropoetik. Bergantung pada perjalanan penyakitnya, dikenal leukemia akut dan menahun, Dalam kepustakaan dikenal pula jenis subakut. Berdasarkan pada jumlah leukosit dalam darah tepi, leukemia akut dapat dibagi menjadi leukemia aluekemik (leukosit kurang dari 10.000/mm3), leukemia subleukemik (leukosit 10.000-25.000/mm3), dan leukemia leukemik (leukosit lebih dari 25.000/mm3) (3).
Reaksi leukomoid adalah keadaan darah tepi yang menyerupai gambaran leukemia tetapi pemeriksaan sumsum tulangnya menunjukkan gambaran yang normal atau gambaran bukan leukemia. Keadaan ini terdapat pada infeksi (tuberkolosis, pertusis, virus, protozoa), intoksikasi (eklampsia, kombutio, gagal hati), tumor ganas yang bermetastasis ke sumsum tulang (karsinoma kolon, karsinoma paru), perdarahan yang hebat, dan hemolisis akut(3).
Pada anak yang sering ditemukan ialah leukemia limfositik akut (LLA). Jenis lain seperti leukemia mieloblastik akut (LMA), leukemia limfositik kronik (LLK), leukemia mielositik kronik (LMK), mielosis eritremik (ME), eritroleukemia, dan retikulosis jarang ditemukan(3).
a.       Leukemia Limfoblastik Akut(4)
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari system limfopoetik yang mengakibatkan organomegali dan kegagalan organ(2). Insidens terjadinya LLA pada anak lebih banyak pada usisa 2-6 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan untuk semua umur. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki kromosom abnormal seperti Down syndrome, Bloom syndrome, ataxia telangiaectasia, dan Fanconi syndrome. ALL dapat didiagnosa dengan bone marrow punction (BMP) yang menunjukan > 25% dari sel bone marrow adalah limfoblast yang homogen, Untuk mengetahui tingkat ALL, diperlukan pemeriksaan cairan CSF. Jika limfoblast ditemukan dan leukosit meningkat maka kemungkinan terjadi meningeal leukemia yang memberikan prognosis yang buruk(4).



b.      Leukemia Mielositik Akut(4)
Di USA, AML terjadi 11% pada anak-anak. Namun, AML ini lebih sering didapatkan pada orang dewasa. LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem hemopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid(4).
c.       Down  Syndrome dan Leukemia Akut serta Myeloproliferasi(4)
Leukemia akut terjadi 14 kali lebih sering pada anak dengan sindrom Down dibandingkan dengan anak normal. Ratio ALL dan AML pada anak dengan sindrom Down sama dengan ratio anak normal. Pada anak dengan sindrom Down yang memiliki ALL, pencapaian keberhasilan  terapi akan sama dengan anak normal, Namun demikian, anak dengan Down syndrome lebih sensitive terhadap methotrexate dan antimetabolit lain dimana akan menimbulkan toksisitas jika dosis nya tidak diawasi dan diatur dengan baik. Pada AML, pasien dengan sindrom Down memiliki keberhasilan terapi yang lebih baik, dengan angka harapan hidup > 80% dibandingkan dengan anak tanpa sindrom Down. Terdapat 10% dari neonatus dengan sindrom Down mendapatkan transient leukemia atau myeloproliveratove syndrome yang ditandai dengan leukosit yang meninggi, terdapat sel blast pada darah perifer, anemia, trombositopenia, dan hepatosplenomegaly. Walaupun demikian, neonates hanya memerlukan transfuse dan tidak dianjurkan untuk kemoterapi. Namun, neonates dengan Down syndrome disertai dengan transient leukemia atau myeloproliveratife memerlukan pemantauan yang ketat karena 20-30% dapat jatuh pada kondisi leukemia megakarositik(4).
d.      Leukemia Granulositik  Kronik(4)
LGK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi berlebihan sel myeloid yang relative matang. LGK didapatkan 2-3% kasus pada anak-anak. Sekitar 99% dari kasus khas dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia. Sebagian besar penderita LGK akan meninggal setelah memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi berlebihan sel muda leukosit biasanya berupa mieloblast/promielosit, disertai produksi neutrofil, trombosit, dan sel darah merah yang kurang(4).

VII. Gejala Klinik
 Gejala klinik yang khas pada leukemia ialah pucat, panas, perdarahan disertai splenomegali dan kadang-kadang hepatomegali serta limfadenopati. Penderita yang menunjukkan gejala lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis dapat didiagnosa sebagai leukemia. Pucat terjadi secara mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan serta perdarahan berupa ekimosis, peteki, epistaksis, perdarahan gusi, dan sebagainya. Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali(3).
a.       Leukemia Limfositik Akut
Gejala klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksia, nyeri tulang dan sendi, hipermetabolisme(4).
b.      Leukemia Mielositik Akut
Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA dengan leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3 ) biasanya mengalami gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus. Selain itu juga menimbulkan gangguan metabolisme yaitu hiperurisemia dan hipoglikemia(2).  Pada pasien LMA menunjukkan gejala khas dibandingkan dengan LLA yaitu nodul subkutan atau blueberry muffin lesion, infiltrasi gingival, pada laboratorium disseminated intravascular coagulation (khususnya pada leukemia promielositik akut) dan terdapat massa yang terpisah atau dikenal sebagai granulocityc sarcoma(4).

c.       Leukemia Granulositik Kronik
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat kenyang akibat desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai infeksi(2)

VIII.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi dan pemeriksaan sumsum tulang(2).
a.     Pemeriksaan darah tepi
     Pada LLA, pemeriksaan darah tepi menunjukkan anemia normositik normokrom, kadang-kadang ditemukan normoblas. Pada hitung jenis terdapat limfoblas. Jumlah limfoblas dapat sampai 100%. Juga didapatkan trombositopenia, Rumple Leede positif, waktu perdarahan memanjang, dan retikulositopenia(5).
b.      Pemeriksaan sumsum tulang
Kepastian diagnostic dari pemeriksaan BMP (Bone Marrow Punction) yang menunjukkan pendesakan eritropoiesis, trombopoiesis, dan granulopoiesis. Sumsum tulang didominasi oleh limfoblas(5). Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang.  Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi merata oleh limfosit  kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari 30.000/mm3(2).
c.       Pemeriksaan lain
           Kelainan imunologis dapat diperiksa dengan immunophenotyping. Kelainan kromosom diperiksa dengan karyotyping. Pemeriksaan lain adalah pencitraan foto thoraks AP dan lateral untuk melihat infiltrasi mediastinal. Pungsi lumbal untuk mengetahui adanya infiltrasi ke cairan cerebrospinal(5). Jika pada pemeriksaan cairan cerebrospinal terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein maka hal ini berarti suatu leukemia meningial. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap saat dari perjalanan penyakit baik pada keadaan remisi maupun keadaan kambuh. Untuk mencegahnya dilakukan pungsi lumbal dan pemberian metotreksat intratekal secara rutin pada setiap penderita baru atau pada mereka yang menunjukkan gejala tekanan intracranial yang meninggi.  Pemeriksaan biopsy limpa akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp cell(3).

IX.       Diagnosis
Dibuat berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan darah tepi dan dipastikan dengan pemeriksaan sumsum tulang atau limpa. Pada stadium dini limpa mungkin tidak membesar, bahkan gambaran darah tepi masih normal dan hanya terlihat gejala pucat yang mendadak dengan atau tanpa trombositopenia. Dalam keadaan ini, pemeriksaan sumsum tulang dapat memastikan diagnosis(3).
Pada stadium praleukemia, gejala lebih tidak khas lagi, bahkan sumsum tulang dapat memperlihatkana gambaran normal. Keluhan panas, pucat, dan perdarahan dapat disebabkan oleh anemia aplastik, trombositopenia (ATP,ITP,demam berdarah, atau penyakit infeksi lain). Bila pada pemeriksaan fisis ditemukan splenomegali maka diagnosis lebih terarah pada leukemia akut. Trombositopenia biasa tidak menunjukkan kelainan lain dalam darah tepi kecuali jumlah trombosit yang rendah. Bila darah tepi menunjukkan granulositopenia dan retikulositopenia diagnosis lebih condong pada anemia aplastik atau leukemia akut(3).
Diagnosis banding antara anemia aplastik dan stadium dini leukemia yang aleukemik tanpa pembesaran limpa sangat sulit. Gambaran darah tepi pada kedua kelainan ini sama keculai jika terdapat limfositosis yang lebih dari 80% atau terdapatnya sel blas dalam darah tepi, diagnosis lebih cenderung leukemia(3).

X.       Pengobatan
Modalitas pengobatan leukemia(6) :
·            Radioterapi
Radioterapi umumnya dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyebaran sel leukemia ke otak. Saat ini pengobatan radioterapi pada leukemia mulai ditinggalkan oleh banyak ahli karena efek samping yang begitu besar dan kuat seperti gangguan intelektual, timbulnya second malignancy, dan mengganggu tumbuh kembang anak. Sehingga sebagian besar protocol pengobatan leukemia tidak lagi menggunakan radioterapi. Berhasil tidaknya pengobatan radioterapi tergantung dati factor sensitivitas sel kanker, efek samping yang timbul, pengalaman radioterapi, serta pasien yang kooperatif(6).
·            Kemoterapi
Kemoterapi pada penderita leukemia mempunyai peran penting karena dapat digunakan untuk mencapai kesembuhan (complete remission) dan mencapai masa bebas penyakit (disease free survival). Berbagai penelitian tentang kemoterapi dilakukan dengan tujuan berusaha mencari obat baru untuk mengkombinasi beberapa macam obat agar kinerja obat lebih baik dengan efek samping yang minimal dan dapat ditolerir oleh tubuh. Yang penting kita harus memperhatikan efektifitas, keamanan, rasional, dan terjangkau daya beli(6).

·            Pembedahan
Merupakan salah satu modalitas dalam penanganan penderita kanker. Pada umumnya pembedahan dilakukan pada penderita dengan tumor padat yang masih dini atau untuk pengobatan paliatif dekompresif, tetapi pembedahan tidak dapat digunakan pada keganasan hematologi(6).

Pengelolaan medik penderita leukemia mempunyai beberapa prinsip yang menyangkut beberapa aspek antara lain(6) :
·         Aspek kanker sendiri
Hal yang sangat penting harus diperhatikan adalah menegakkan diagnosis pasti leukemia sebelum memberikan kemoterapi. Diagnosis penentu leukemia dapat ditegakkan secara morfologik dengan melakukan aspirasi sumsum tulang. Penentuan status medik penderita dengan melakukan anamnesis tentang umur, melihat hasil pemeriksaan fisis tentang ada tidaknya organomegali serta pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui risk group, apakah tergolong resiko standar (prognosis baik), intermediet atau resiko tinggi (prognosis buruk)  (6). Faktor yang menentukan prognosis dari LLA adalah umur pasien ketika didiagnosis, jumlah leukosit awal, dam respon terhadap terapi(4).  
Tabel 1. Faktor prognostic bermakna pada penderita LLA(6).
Faktor
Prognosis buruk
Prognosis baik
Usia
Jenis kelamin
Jumlah leukosit awal
Imunofetipe
Piodi
Sitogenik
Blas darah tepi hari ke-8
Remisi setelah induksi
<1,5 th atau >10 th
Laki
>50.000/mm3
Pro-B, B, T
Non hiperploidi
t(4;11),t(9;22)
>1000/mm3 darah
Tak remisi
1,5-10 th
Perempuan
<50.000/mm3
Common, pre-B
Hiperploidi
t(12;21)
<1000/mm3 darah
Tercapai remisi

·         Aspek penderita dan orangtua(6)
Yang dimaksud disini adalah :
a.       memberikan penjelasan tentang diagnosis serta perlunya pemberian kemoterapi,
b.      memberikan penjelasan tentang lama pengobatan, macam obat (termasuk harga obat) serta jadwal pemberian kemoterapi, serta persiapan yang diperlukan setiap akan masuk sitostatika
c.       menjelaskan tentang kemungkinan timbulnya efek samping terapi baik jangka pendek maupun jangka panjang.
d.      Menjelaskan prosedur penanganan yang efektif
e.       Jangan lupa pemberian informed consent
·         Aspek pengawasan terhadap efek samping obat(6)
Keberhasilan pengobatan leukemia didasarkan pada hasil pemeriksaan sumsum tulang pada akhir masa induksi (minggu ke 6) yang mencapai remisi dimana kita hanya menemukan jumlah limfoblas dalam sumsum tulang kurang dari 5%. Pada umumnya sitostatika memberikan efek samping berupa mielosupresi (anemia, leucopenia, trombositopenia), mual, muntah, stomatitis, rambut rontok, nyeri otot. Efek samping yang sifatnya selektif untuk masing-masing obat misalnya :
a.       Metotreksat         : mielosupresi, oro-intestinal mucositis (timbul 5-14 hari setelah pemberian )
b.      Adriamisin           :  kardiomiopati, mielosupresi, mual, muntah, alopesia
c.       Asparaginase       :  reaksi hipersensitif (urtika, menggigil, anafilaksis), gangguan pembuluh darah, pancreatitis akut, hepatotoksis, penurunan albumin, dan lipoprotein
d.      Vinkristin             :  neurotoksik (neuropati perifer motorik, sensorik, saraf otonom), konstipasi, ileus paralitik, dan retensi cairan
e.       Merkaptopurin     :  mielosupresi, gangguan fungsi hepar, mukositis.
f.       Sitarabin              :  mielosupresi, nausea, vomiting, mialgia, nyeri tulang dan sendi, nyeri dada.
·         Aspek protokol pengobatan(6)
Pengobatan LLA dibagi dalam pengobatan suportif dan spesifik. Pengobatan spesifik menggunakan obat-obat sitostatika dengan tujuan membasmi sel leukemia.

Tahapan Pengobatan
Untuk mencapai remisi dan mencegah kekambuhan maka prinsip pengobatan yang dipakai adalah induksi remisi, kosolidasi atau intensifikasi, rumatan, reinduksi, mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat, dan pengobatan imunologik (3)
a.  Induksi Remisi
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk memusnahkan semua atau sebanyak mungkin sel leukemia agar terjadi remisi, terjadi penurunan jumlah sel-sel leukemia sampai tidak terdeteksi secara klinis maupun laboratorium (limfoblas sumsum tulang <5%) yang ditandai dengan holangnya gejala klinis dan gambaran darah tepi menjadi normal. Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar 6 minggu dengan angka remisi rata-rata 97%(6).
Tahap induksi menggunakan kortikosteroid (prednisone atau dexamethason), vinkristin, L_Asparaginase(6). Pada tahap ini diberikan :
·         VCR (vincristin) : 2mg/m2/minggu, intravena, diberikan 6 kali(2)
·         ADR (adriamisin) : 40mg/m2/2 minggu intravena, diberikan 3 kali, dimulai pada hari ketiga pengobatan(3)
·         Prednison : 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu, kemudian tapering off selama 1 minggu(3).
SSP : profilaksis : MTX (metotreksat) 10 mg/m2/minggu intratekal, diberikan 5 kali dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama. Radiasi cranial : dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir (siklofosfamida) (6).
b.   Konsolidasi atau intensifikasi
            Segera setelah penderita mengalami pemulihan baik klinis maupun laboratories dan mencapai remisi komplit, terapi fase intensifikasi dapat dimulai. Hal ini dilakukan atas dasar penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa apabila terapi dihentikan setelah induksi remisi maka segera terjadi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah menurunkan keberadaan dan menghilangkan sel pokok (stem cell) leukemia(6). Obat-obatan yang digunakan antara lain(3) :
·         MTX : 25mg/m2/hari intravena, diberikan 3 kali, dimulai satu minggu setelah VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
·         6-MP (6-merkaptopurin) : 500mg/m2/hari peroral, diberikan 3 kali
·         CPA (siklofosfamid) : 800mg/m2/kali diberikan sekaligus pada akhir minggu kedua dari konsolidasi. 
c.  Rumat /maintenance
Tidak seperti keganasan yang lain pada LLA diperlukan waktu yang panjang untuk mempertahankan kesembuhan. Hal ini ditujukan untuk membunuh sel blas dan memelihara sel sumsum tulang yang normal disamping untuk mempertahankan respon imum penderita. Pada umumnya pengobatan berlangsung 2 sampai 3 tahun(6). Maintenance dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan(3) :
·         6-MP : 65 mg/m2/hari peroral
·         MTX : 20 mg/m2/minggu peroral, dibagi dalam dua dosis (misalnya Senin dan Kamis)
d.    Reinduksi
            Reinduksi dimaksudkan untuk mencapai remisi yang biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obatan seperti pada induksi selama 10-14 hari. Reinduksi diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat-obat rumat dihentikan(6). Sistemik(6) :
·         VCR : dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
·         Prednison : sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh dan 1 minggu kemudian tapering off
SSP : MTX intratekal : dosis sama dengan dosis profilaksis, diberikan 2 kali.
e.   Pengobatan susunan saraf pusat
Apabila terapi pencegahan pada susunan saraf pusat tidak dilakukan pada pengobatan LLA maka lebih dari 40% anak akan mengalami relaps susunan saraf pusat. Beberapa pengobatan susunan saraf pusat telah dipakai, termasuk pengobatan intratekal yaitu MTX pada waktu induksi dan radiasi cranial sebanyak 2.400-2500 rad. Radiasi tidak diulang pada reinduksi(6).
f.     Pengobatan Imunologik
Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang terbaru. Pengobatan spesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG yang dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing-masing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat-obat rumat diteruskan(3).    



Penanganan Suportif
            Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan penyakit leukemia dan mengatasi efek samping obat, serta kerentanan terhadap infeksi(2). Pada leukemia didapatkan penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi(7). Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya resiko terhadap infeksi pada pasien leukemia dapat dibagi menjadi (7):
·         Gangguan pada integument. Keadaan ini dapat menyebabkan terbuka jalan masuk bagi mikroorganisme pathogen misalnya erosi pada mukosa akibat kemoterapi dan adanya luka jalur selang infuse atau kateter.
·         Gangguan pada satu atau lebih system kekebalan tubuh spesifik
·         Granulositopenia.
Pada pasien leukemia dengan penurunan kekebalan tubuh, infeksi dapat pula disebabkan oleh kuman yang biasanya tidak pathogen seperti Streptococcus faecalis dan Staphylococcus epidermidis(7). Pencegahan terhadap infeksi yang sangat rentan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang termudah adalah memberikan pengertian pada penderita dan keluarganya agar selalu mencuci tangan, mandi setiap hari dan menghindari kontak dengan orang yang sedang sakit. Profilaksis antibiotic untuk mencegah pneumoni akibat pneumocitys carinii dapat dilakukan dengan pemberian trimetoprim/sulfametaksol selama 3 hari berturut-turut dalam seminggu. Penanganan ini biasanya dilakukan sebelum pemakaian sitostatika. Pada kunjungan awal penderita biasanya datang dengan anemia dan panas badan, usaha pertama adalah menaikkan kadar hemoglobin dengan pemberian transfusi darah.  Panas badan umumnya dianggap disebabkan oleh infeksi(6).  




DAFTAR PUSTAKA

  1. Anonim. Leukemia. [online]2011 [cited 2011 Januari 14]: Available from : id.wikipedia.org/wiki/Leukemia
  2. Anonim. Bab II.Tinjauan Pustaka. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] : Available from: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20969/4/Chapter%20II.pdf
  3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu Kesehatan Anak ed.1. Jakarta : Info Medika Jakarta. 1985. p469.
  4. Bleyer A. David G. Tubergen. The Leukemias in Nelson Textbook of Pediatrics. Kliegman,ed. Philadelpia : Elseiver.2007. c495.
  5. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unhas. Standar Pelayanan Medik Kesehatan Anak. Makassar : SMF Anak RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo. 2009. p.197.  
  6. Permono Bambang, Mia R. Pengelolaan Medik Anak dengan Leukemia dan Kemungkinan Perawatan di RS Kabupaten. [online] 2011 [cited 2011 Januari 14] : Available from www.pediatrik.com/pkb/061022022524-03ie136.pdf.
  7. Reksodiputro,A.Haryanto. Total Protected Environment Untuk Mencegah Infeksi Nosokomial di Ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM FKUI in Cermin Dunia Kedokteran no.83. Jakarta : PT.Midas Surya Grafindo. 1993.p18








BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT
JANUARI  2011


LEUKEMIA

UNHAS03.JPG

OLEH:


Suriana Dwi Sartika
C111 07 154



PEMBIMBING
dr. Hanna Kurniawati




DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011



HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

    Nama                      : Suriana Dwi Sartika
    Nim                         : C111 07 154
Judul referat               : Leukemia

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.


                                                                                          Makassar,  Januari 2011
Mengetahui,

Pembimbing



(dr. Hanna Kurniawati)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar